Wednesday, May 4, 2011

90 Hari di negeri Paman Sam


Perpisahan sekaligus syukuran atas pernikahan Jihan dan John cukup memuaskan walau tidak semua undangan bisa hadir, tetapi dengan kehadiran keluarga besar Jihan yang sudah cukup lama tidak berkumpul membuat senyum ayah Jihan, Darja menghiasi wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Anak bungsunya sudah melewati satu tahap besar dalam kehidupan dan tugasnya sebagai ayah bisa dikatakan selesai. Sebentar, kenapa harus ada perpisahan? Oh ya, John berasal dari negara Paman Sam, Amerika. Dengan kecanggihan internet, dua sejoli dari negara yang berbeda dapat bertemu dan menikah. Dengan proses yang serba panjang dah rumit, akhirnya dengan ijin Yang Maha Kuasa, Jihan dan John menyegerakan pernikahan dan terbang ke negara Paman Sam.
“Semoga rukun damai aman sentosa disana ya nak” bgitu pesan Pak Darja kepada anak bungsunya.
______________________________
Pesawat yang mereka tumpangi sangat nyaman. Perjalanan panjang diatas pesawat tidak terlalu Jihan rasakan, tergantikan dengan belaian lembut dan kasih John yang selalu menghiburnya.
Atlanta adalah persinggahan terakhir, dilanjutkan dengan kendaraan pribadi John yang sengaja dia parkir di bandara. Cuaca di Atlanta sangat menggigit kulit asia Jihan saat itu. Musim dingin memang menyambut kedatangannya di negeri Paman Sam. Setelah beristirahat satu malam, mereka melanjutkan perjalanan ke Florida. Kurang lebih 5jam dengan kecepatan 60, truk merah kesayangan John melaju tanpa ada hambatan. Indah sekali, walau salju belum turun tetapi dinginnya sudah merayap ketubuh Jihan sampai ketulang.
“Cold, honey?” John mencoba membuka percakapan hari itu. “This is not really cold tho.”
“Yeah, for you perhaps. But for Asian with slim body like me, it might kill me.” Jihan menjawab sambil melipat tangan mungilnya kedalam jaket. Kecupan mendarat di kening Jihan. Ah pengantin baru memang indah rasanya. Honey moon's trip segera dimulai.
______________________________
Cuaca di Florida sangat berbeda dengan Atlanta. Sedikit lebih hangat. Sehari setelah melepas penat, Jihan memutuskan memilih Disney World sebagai perjalanan awalnya di Amerika. 4 malam 5 hari rasanya tidak cukup untuk bersenang-senang, masih banyak atraksi permainan yang tidak mereka kunjungi. Kehidupan sebagai istri sudah menantinya.

Jet-lag sepertinya tidak mengusik kebahagiaan Jihan. Adaptasi dengan suasana baru belum begitu ia rasakan. John keliatannya juga tidak terlalu sulit diurus. Makanan barat tidak harus menjadi menu utama dikeluarga baru itu.
“Wow baby, you are even more Asian. I can't even stand having lots of chili pepper.” begitu Jihan memuji pasangannya yang sangat menyukai sambel.
“I've been around the world hon, I know good food.” John memang cukup lama bekerja di Angkatan Laut Amerika dan sering bertugas di Asia sehingga lidahnya bisa menerima makanan asing yang memang lebih kaya rasa dibandingkan dengan makanan barat. 
_____________________________
Tidak terasa satu bulan berlalu. Perjalanan masih sangat panjang untuk mereka dan kebijakan pihak pemerintah Amerika dalam membatasi jangka waktu ijin tinggal tunangan untuk menikah sangat cepat. Sedangkan untuk membawa topik pernikahan kembali, Jihan sangat hati-hati, mengingat begitu sulitnya meyakinkan John untuk datang menjemputnya saat itu. Ah John memang lelaki spesial, dengan latar belakang yang memang tidak mulus dalam hidupnya membuat kepribadiannya berbeda.

Pernikahan di Amerika akhirnya terlaksana dengan sangat sederhana, hanya berbeda sehari dengan ulang tahun Jihan. Ulang tahun kelabu Jihan tergantikan dengan senyum manis dan kecupan dibibir setelah sumpah di bilik sudut kantor kehakiman Amerika dibacakan dan kalimat “I Do” meluncur dengan lancarnya.
______________________________
Memasuki bulan kedua di Amerika setelah dokumen ijin tinggal selesai diurus adalah mencari pekerjaan atau menambah teman. Istilah culture shock sepertinya memang mendera Jihan walau bahasa Inggris tidak menjadi hambatan untuknya. Terlebih lagi diperumahan tempat suaminya memang tidak ramai seperti di kota besar. Rasa tidak percaya diri, yang sangat mendominasi dirinya menimbulkan kebosanan. Mencari info di internet dengan sosial network membuahkan hasil. Satu demi satu teman-teman seperjuangan di Florida mulai kelihatan batang hidungnya.


2 comments:

  1. alurnya sudah ok, yang perlu diperhatikan hanyalah menampilkan 'emosi' pada isinya, sehingga yang membaca bisa merasakan bagaimana berjuang menjadi'amerika' dalam sekian waktu. HOW TO SURVIVE IN AMERICA or HOW TO LIVE WITH A STRANGER ... itu bisa jadi judul bukumu Mrs. Harrel. Good luck :)

    ReplyDelete
  2. thanks! sbnrnya pas nulis msh bingung krn mmg blm beradaptasi n bersosialisasi dgn org2sini jd pengalamannya ga banyak, kecuali sm suami disini selama 90 hari itu hihi mknya ceritanya malah seputar itu emosinya

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.